Dia membayangkan bapaknya yang di dalam kamar di depannya juga akan mengalami kematian. Tapi dia berharap tidak ada teriakan histeris seperti kamar sebelahnya tadi. Pak Padmo sudah lama sakit dan puluhan kali keluar masuk rumah sakit dengan sakit yang sama, sesak napas. Bu Padmo yang mendampingi serta merawat Pak Padmo dengan telaten dan sabar bukan tipe orang yang kagetan seperti dua perempuan yang adu tangisan tadi. Dia berharap kematian bapaknya nanti, kalau datang dan pasti datang, tidak akan disambut dengan tangisan kesedihan seperti itu, walaupun kesedihan pasti mengiringinya. Kadang kematian memang jalan terbaik mengakhiri penderitaan.
Kematian seperti itu sudah tentu baik bagi semua. Yang sakit, keluarganya dan yang merawat. Bagi rumah sakit juga baik toh tidak akan kekurangan pasien. Umur panjang tidak selalu membawa berkah jika harus dijalani dengan penuh penderitaan dan siksaan. Tapi barangkali itu cara Tuhan mengurangi penderitaan di alam kubur sana, siksaan diberikan sebagian di dunia dengan memberi rasa sakit.
Dia, Sindhu, masih tiduran di teras pavilyun rumah sakit. Mendengar keributan pengeluaran jenazah dari kamar sebelah. Dia tidak melihat lalu lalang orang, dia sengaja menelungkupkan badan. Dia takut akan merasa ketakutan melihat mayat didorong diatas tempat tidur yang beroda oleh para suster diikuti keluarganya yang masih menangis. Sindhu lebih baik tidak mempedulikan itu walaupun sangat ingin. Sindhu harus tidur di teras itu sepanjang malam menemani Bu Padmo yang didalam ruang bersama Pak Padmo. Ia masih memikirkan kondisi Pak Padmo yang sekian tahun sakit. Sakit yang mudah dimaklumi. Tadi malam kondisi Pak Padmo sungguh mengkhawatirkan. Perutnya bengkak, kata dokter livernya sudah kena. Tidak tahan memakan banyak obat berdosis tinggi. Dokter secara tidak langsung nampaknya sudah menyerah dengan kondisi seperti itu. Sulit dipulihkan.
Tanpa diduga ada sepupu ipar Sindhu datang menjenguk ke rumah sakit. Sepupunya yang dikenal bandel itu membawa obat yang tidak biasa. Sobekan kertas bertuliskan huruf Arab. Dari dukun di suatu tempat di Boyolali. Entah apa tulisan Arab itu bunyinya. Konon dukunnya sendiri nggak bisa baca huruf Arab. Anehnya bisa membuat obat seperti itu. Kertas itu diminta direndam di air lalu airnya diminumkan ke si sakit. Malam tadi ketika terbangun, Bu Padmo memberi minum ke suaminya. Pak Padmo sejak dulu tidak suka hal-hal berbau klenik atau mejik atau perdukunan. Semua harus masuk akal, bisa dijelaskan.
Bu Padmo pernah suatu ketika pergi ke orang pinter untuk suatu keperluan. Ketika pulang Pak Padmo bertanya
Sejak itu Bu Padmo kapok ke dukun; selain takut, juga pada alasan yang diberikan suaminya tidak ditemukan kesalahan. Apalagi kalau benar tulisan di kertas itu ayat dari Qur’an, Pak Padmo pasti akan protes walaupun dia sendiri bukan pengamal agama yang baik. Ayat qur’an bagi dia adalah perintah untuk dijalankan yang akan memberi petunjuk hidup bagi manusia. Bukan sebagai mantra untuk obat atau dihafal dan dibaca berulang untuk mendapatkan nasib baik. Tapi malam tadi Bu Padmo merayu untuk minum saja. Mungkin merasa dirinya sudah dalam keadaan sangat lemah dan tidak bisa lagi menahan sakit, kerewelan atas logika yang harus masuk akal itu dia lupakan. Diminumlah air itu.
Ajaib. Sungguh ajaib. Tadi pagi perut bengkak itu kempes. Tidak lagi bengkak dan Pak Padmo menjadi seperti sehat kembali. Ketika dokter siangnya melakukan kontrol, dibuat takjub.
“Lho kok bisa begini bu perutnya bapak?”
Pembicaraan itu tentu tidak didengar oleh Pak Padmo. Takut akan bertanya lebih jauh soal asal usulnya. Dokternya pun tidak marah walaupun secara medis tidak bisa dijelaskan, nyatanya perut yang bengkak itu kempes, sembuh. Dia tidak bisa menolong lebih jauh mengapa harus marah. Dokter memperkirakan pasiennya itu tinggal menunggu waktu untuk dipanggil Sang pencipta. Bisa pagi tadi atau siang atau malam ini. Yang terjadi justru laki-laki di kamar sebelahnya yang dipanggil lebih dulu oleh Pemilik hidup ini. Dokter memang tidak boleh merasa paling tahu dengan ilmunya.
Tentu banyak cara menjadi sehat. Ada sakit ada obat, obat tidak harus berasal dari dokter yang berupa obat-obatan kimia. Konon dukun yang memberi obat itu memang sakti bagi setidaknya sepupu bandel itu. Ketika mau ujian sekolah tinggi, dia datangi dukun itu untuk mendapatan resep agar mendapat nilai A untuk semua mata kuliah. Permintaan yang nggak wajar mengingat dia bukan anak yang pinter atau rajin. Tapi semua orang bisa minta apa saja ke dukun. Dan dukun biasanya mengiyakan, asal ada bayarannya. Berhasil atau tidak terserah. Bagaimana pertanggungjawaban dukun dengan pelanggan tidak pernah jelas.Tapi suatu keajaiban memang terjadi setelah itu. Nilai Mata kuliahnya semua A. Teman-temannya tidak percaya. Tapi itu kenyataan.
Sindhu pernah suatu saat minta diantar ke dukun itu karena rasa penasaran. Untuk sekedar tahu dan kalau bisa mengobati sakitnya, kepala sering pusing. Rumah si dukun di area kebun luas yang isinya bermacam pohon, mirip hutan. Rumah kecil dari gedheg bambu, tinggal sendirian, kurus seperti umumnya petani di daerah itu. Tidak kelihatan sebagai dukun yang memakai pakaian yang menyeramkan atau membakar dupa atau kemenyan. Sindhu diberi ramuan tulisan Arab. Tetapi obat itu nyatanya tidak manjur. Masih sering sakit kepala itu datang. Tapi tidak dipungkiri dukun itu menyembuhkan sakit Pak Padmo yang dokter sendiri sudah pesimis. Seingat Sindhu kalau bapaknya sakit dan dibawa ke rumah sakit yang ini, selalu saja pulang dalam keadaan lebih buruk, tidak sembuh.
Sembuhnya justru oleh ramuan dukun atau tukang pijet yang diam-diam diselipkan diantara tindakan dokter di rumah sakit. Tapi namanya orang sakit kadang reputasi rumah sakit tidak penting, asal dekat dari rumah ya itu yang dituju. Sindhu sebagai anak bungsu, dialah yang sering pulang menemani Bu Padmo. Dia sendiri bekerja sebagai wirausahawan .